Gendis Kesulitan Bahasa, Yessy Double Job
Wayang Orang Indonesia Pusaka (WOIP) pada 22 Oktober mendatang akan
tampil di Paris, Prancis. Mereka membawakan lakon ’Banjaran Gatotkaca’
yang sebelumnya pernah mereka tampilkan di Sidney Opera House pada 2010
dan Istana Negara tahun lalu. Sepanjang sore hingga petang kemarin,
INDOPOS mengikuti latihan para pendukung WOIP di Kelapa Gading.
GEMULAI gerak tubuh perempuan berkulit bersih itu masih tampak kaku.
Sesekali, dia berhenti bergerak setelah sadar gerakannya tidak tepat.
Namun begitu, wanita berambut pendek itu terus mengikuti irama gamelan
yang ditabuh di belakangnya. Bibirnya tampal komat kamit menyuarakan
tetembangan (lagu) dalam bahasa Jawa.
Tak jauh darinya, perempuan lain yang bertubuh lebih tinggi tampak
melakukan gerak serupa. Menari dan menembang. Dua wanita itu adalah
Gendis Soeharto dan Yessy Sutiyoso. Gendis adalah cucu mantan Presiden
Soeharto dan Yessy merupakan putri mantan Gubernur Sutiyoso.
Mereka berdua belakangan semakin aktif menekuni dunia tari dan wayang
orang bersama WOIP. ”Saya baru dua tahun belakangan aktif menari.
Pertunjukan ’Banjaran Gatotkaca’ di Paris nanti adalah pementasan
pertama saya,” terang Gendis. Menjadi penari profesional atau pemain
wayang orang memang bukan cita-cita Gendis.
Dia mengaku, tari dan keterlibatannya dalam pentas Banjaran Gatotkaca
adalah caranya menunjukkan kepedulian terhadap khasanah budaya
nusantara. ”Tidak mudah untuk bermain dalam pementasan wayang orang.
Apalagi bahasa yang digunakan adalah krama inggil (bahasa Jawa halus),”
sambung Gendis.
Hal senada diungkapkan Yessy Sutiyoso. Jika Gendis dalam pementasan
tersebut berperan sebagai Dewi Setyaboma, Yessy mendapat peran sebagai
Dewi Larasati. Peran mereka sama-sama sarat dengan tarian klasik Jawa
yang tak mudah. Sedikit berbeda dengan Gendis yang hanya punya peran
sebagai Setyaboma, Yessy juga dipercaya sebagai Wakil Ketua Pelaksana
Pentas WOIP di Paris.
WOIP adalah sebuah lembaga peduli budaya yang dipimpin oleh Jaya
Suprana. Sejak awal, WOIP memilih setia pada pementasan wayang orang
yang tetap fokus pada gaya pemanggungan lama. Tidak ada tafsir lakon,
eksplorasi kisah, elaborasi penokohan dan semacamnya. Dari sisi
pemanggungan, wayang orang yang diusung WOIP tidak banyak berbeda dengan
model pementasan kesenian serupa di gedung wayang orang Sriwedari di
Solo atau Bharata di Pasar Senen, Jakpus. ”Kami memang mencoba untuk
tetap mengusung mahakarya dan mahakarsa adiluhung wayang orang
sebagaimana tradisi aslinya di Indonesia,” kata Jaya Suprana.
Walau tidak melakukan tafsir baru atas lakon wayang dan ekslporasi
kreatif lainnya pada cerita, pementasan WOIP tetap mengusung unsur-unsur
kekinian yang sering tak dipakai dalam pentas tradisional wayang orang.
’’Kami menggunakan multimedia pada pementasan untuk memberi efek
dramatis,’’ terang Ida Suseno yang menjadi Sutradara WOIP Goes to Paris.
Pada adegan matinya Gatotkaca misalnya. Gatotkaca yang tengah terbang
di angkasa muncul pada layar multimedia dan kemudian diserang oleh
Adipati Karna dari atas kereta perangnya dihadirkan lewat layar
multimedia.
Multimedia juga sudah Ida gunakan pada pentas di Sidney. Tapi, kali ini
multimedia yang digunakan benar-benar baru dan berbeda dengan
sebelumnya. Pada bagian awal pentas, tokoh demi tokoh wayang dan
pemerannya disandingkan dengan wujud animatif wayang kulit. ’’Itu adalah
cara kami mengantarkan penonton masuk ke dalam cerita Banjaran
Gatotkaca,’’ jelas Ida dengan mimik serius.
Jika kemudian dibandingkan dengan kelompok wayang orang professional
yang rutin naik pentas, tentu penampilan WOIP belum bisa disebut setara.
Namun, jika kemudian dilihat bagaimana usaha keras dan komitmen para
pendukungnya yang hampir 90 persen tidak memiliki latar belakang
kedekatan dengan pentas tradisi bernama wayang orang, maka apa yang
dikerjakan WOIP patut mendapat acungan dua jempol, empat jempol kalau
perlu. Betapa tidak, sebagaian besar pendukung pentas WOIP di Paris
adalah ibu-ibu Jakarta yang jauh dari seni pementasan tradisional
seperti wayang orang. Ada wartawan, hingga istri pejabat negara.
Latar belakang pendukung pertunjukan semacam itu tak urung menjadikan
proses persiapan pentas tak semudah yang dibayangkan. Jadwal latihan
harus disesuaikan dengan kesibukan para pendukungnya. Maklum, walau
sebagian besar adalah ibu-ibu, mereka bukan melulu ibu rumah tangga
tanpa aktivitas. Sebagian adalah wanita karir dengan kesibukan ekstra
padat di kantor masing-masing.
”Di Paris kami akan main di gedung UNESCO. Ada tidak kurang 1.200
penonton dari 190 negara yang akan menyaksikan,’’ terang Aylawati
Sarwono, Ketua Pelaksana WOIP Goes to Paris.
Menurutnya, pementasan di Paris adalah salah satu misi diplomasi budaya
Indonesia yang didukung penuh oleh Kementerian Luar Negeri, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan maupun Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif. Wanita berambut panjang ini menyebut, pementasan WOIP kali ini
tidak sesulit pementasan pertama di Sidney. Saat itu, minimnya dukungan
dari banyak pihak benar-benar menyulitkan persiapan pentas.
Banjaran Gatotkaca berisi kisah hidup Gatotkaca, putra Bima. Kisah
tentang kelahiran hingga kematian Gatotkaca yang dalam pentas wayang
kulit bisa menghabiskan waktu semalam suntuk dan pada pentas wayang
orang kebanyakan butuh waktu empat sampai lima jam dimampatkan
sedemikian rupa hingga hanya berdurasi 1,5 jam. Ida Suseno yang menjadi
sutradara pentas mengakui bahwa pengadeganan yang ringkas pada Banjaran
Gatotkaca adalah sesuatu yang tak mudah. Dia harus memilah bagian kisah
demi kisah Banjaran Gatotkaca yang akan diusung di atas panggung.
’’Gatotkaca sengaja kami pilih mengingat sosoknya yang sangat unik. Dia
adalah superhero khas Indonesia yang tidak kalah dengan Superman atau
superhero lain dari luar negeri,’’ ujar Aylawati Sarwono. Tokoh
pewayangan itu dalam kisah Mahabharata di India memiliki perbedaan sosok
yang mencolok dengan tokoh serupa di jagad wayang Jawa.
Di dalam wayang Jawa, Gatotkaca adalah sosok gagah berani, maskulin
habis, sakti mandraguna, bisa terbang dan kebal segala senjata. Menurut
Jaya Suprana, di India sosok Gatotkaca justru tidak demikian dan disebut
memiliki ciri fisik tanpa bulu tubuh maupun rambut sekaligus berfisik
layaknya raksasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar