Jumat, 28 September 2012

Persiapan Wayang Orang Indonesia Pusaka (WOIP) yang Akan Pentas di Paris

Gendis Kesulitan Bahasa, Yessy Double Job
Wayang Orang Indonesia Pusaka (WOIP) pada 22 Oktober mendatang akan tampil di Paris, Prancis. Mereka membawakan lakon ’Banjaran Gatotkaca’ yang sebelumnya pernah mereka tampilkan di Sidney Opera House pada 2010 dan Istana Negara tahun lalu. Sepanjang sore hingga petang kemarin, INDOPOS mengikuti latihan para pendukung WOIP di Kelapa Gading.
GEMULAI gerak tubuh perempuan berkulit bersih itu masih tampak kaku. Sesekali, dia berhenti bergerak setelah sadar gerakannya tidak tepat. Namun begitu, wanita berambut pendek itu terus mengikuti irama gamelan yang ditabuh di belakangnya. Bibirnya tampal komat kamit menyuarakan tetembangan (lagu) dalam bahasa Jawa.
Tak jauh darinya, perempuan lain yang bertubuh lebih tinggi tampak melakukan gerak serupa. Menari dan menembang. Dua wanita itu adalah Gendis Soeharto dan Yessy Sutiyoso. Gendis adalah cucu mantan Presiden Soeharto dan Yessy merupakan putri mantan Gubernur Sutiyoso.
Mereka berdua belakangan semakin aktif menekuni dunia tari dan wayang orang bersama WOIP. ”Saya baru dua tahun belakangan aktif menari. Pertunjukan ’Banjaran Gatotkaca’ di Paris nanti adalah pementasan pertama saya,” terang Gendis. Menjadi penari profesional atau pemain wayang orang memang bukan cita-cita Gendis.
Dia mengaku, tari dan keterlibatannya dalam pentas Banjaran Gatotkaca adalah caranya menunjukkan kepedulian terhadap khasanah budaya nusantara. ”Tidak mudah untuk bermain dalam pementasan wayang orang. Apalagi bahasa yang digunakan adalah krama inggil (bahasa Jawa halus),” sambung Gendis.
Hal senada diungkapkan Yessy Sutiyoso. Jika Gendis dalam pementasan tersebut berperan sebagai Dewi Setyaboma, Yessy mendapat peran sebagai Dewi Larasati. Peran mereka sama-sama sarat dengan tarian klasik Jawa yang tak mudah. Sedikit berbeda dengan Gendis yang hanya punya peran sebagai Setyaboma, Yessy juga dipercaya sebagai Wakil Ketua Pelaksana Pentas WOIP di Paris.
WOIP adalah sebuah lembaga peduli budaya yang dipimpin oleh Jaya Suprana. Sejak awal, WOIP memilih setia pada pementasan wayang orang yang tetap fokus pada gaya pemanggungan lama. Tidak ada tafsir lakon, eksplorasi kisah, elaborasi penokohan dan semacamnya. Dari sisi pemanggungan, wayang orang yang diusung WOIP tidak banyak berbeda dengan model pementasan kesenian serupa di gedung wayang orang Sriwedari di Solo atau Bharata di Pasar Senen, Jakpus. ”Kami memang mencoba untuk tetap mengusung mahakarya dan mahakarsa adiluhung wayang orang sebagaimana tradisi aslinya di Indonesia,” kata Jaya Suprana.
Walau tidak melakukan tafsir baru atas lakon wayang dan ekslporasi kreatif lainnya pada cerita, pementasan WOIP tetap mengusung unsur-unsur kekinian yang sering tak dipakai dalam pentas tradisional wayang orang. ’’Kami menggunakan multimedia pada pementasan untuk memberi efek dramatis,’’ terang Ida Suseno yang menjadi Sutradara WOIP Goes to Paris.
Pada adegan matinya Gatotkaca misalnya. Gatotkaca yang tengah terbang di angkasa muncul pada layar multimedia dan kemudian diserang oleh Adipati Karna dari atas kereta perangnya dihadirkan lewat layar multimedia.
Multimedia juga sudah Ida gunakan pada pentas di Sidney. Tapi, kali ini multimedia yang digunakan benar-benar baru dan berbeda dengan sebelumnya. Pada bagian awal pentas, tokoh demi tokoh wayang dan pemerannya disandingkan dengan wujud animatif wayang kulit. ’’Itu adalah cara kami mengantarkan penonton masuk ke dalam cerita Banjaran Gatotkaca,’’ jelas Ida dengan mimik serius.
Jika kemudian dibandingkan dengan kelompok wayang orang professional yang rutin naik pentas, tentu penampilan WOIP belum bisa disebut setara. Namun, jika kemudian dilihat bagaimana usaha keras dan komitmen para pendukungnya yang hampir 90 persen tidak memiliki latar belakang kedekatan dengan pentas tradisi bernama wayang orang, maka apa yang dikerjakan WOIP patut mendapat acungan dua jempol, empat jempol kalau perlu. Betapa tidak, sebagaian besar pendukung pentas WOIP di Paris adalah ibu-ibu Jakarta yang jauh dari seni pementasan tradisional seperti wayang orang. Ada wartawan, hingga istri pejabat negara.
Latar belakang pendukung pertunjukan semacam itu tak urung menjadikan proses persiapan pentas tak semudah yang dibayangkan. Jadwal latihan harus disesuaikan dengan kesibukan para pendukungnya. Maklum, walau sebagian besar adalah ibu-ibu, mereka bukan melulu ibu rumah tangga tanpa aktivitas. Sebagian adalah wanita karir dengan kesibukan ekstra padat di kantor masing-masing.
”Di Paris kami akan main di gedung UNESCO. Ada tidak kurang 1.200 penonton dari 190 negara yang akan menyaksikan,’’ terang Aylawati Sarwono, Ketua Pelaksana WOIP Goes to Paris.
Menurutnya, pementasan di Paris adalah salah satu misi diplomasi budaya Indonesia yang didukung penuh oleh Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maupun Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Wanita berambut panjang ini menyebut, pementasan WOIP kali ini tidak sesulit pementasan pertama di Sidney. Saat itu, minimnya dukungan dari banyak pihak benar-benar menyulitkan persiapan pentas.
Banjaran Gatotkaca berisi kisah hidup Gatotkaca, putra Bima. Kisah tentang kelahiran hingga kematian Gatotkaca yang dalam pentas wayang kulit bisa menghabiskan waktu semalam suntuk dan pada pentas wayang orang kebanyakan butuh waktu empat sampai lima jam dimampatkan sedemikian rupa hingga hanya berdurasi 1,5 jam. Ida Suseno yang menjadi sutradara pentas mengakui bahwa pengadeganan yang ringkas pada Banjaran Gatotkaca adalah sesuatu yang tak mudah. Dia harus memilah bagian kisah demi kisah Banjaran Gatotkaca yang akan diusung di atas panggung.
’’Gatotkaca sengaja kami pilih mengingat sosoknya yang sangat unik. Dia adalah superhero khas Indonesia yang tidak kalah dengan Superman atau superhero lain dari luar negeri,’’ ujar Aylawati Sarwono. Tokoh pewayangan itu dalam kisah Mahabharata di India memiliki perbedaan sosok yang mencolok dengan tokoh serupa di jagad wayang Jawa.
Di dalam wayang Jawa, Gatotkaca adalah sosok gagah berani, maskulin habis, sakti mandraguna, bisa terbang dan kebal segala senjata. Menurut Jaya Suprana, di India sosok Gatotkaca justru tidak demikian dan disebut memiliki ciri fisik tanpa bulu tubuh maupun rambut sekaligus berfisik layaknya raksasa.

alt

Tidak ada komentar:

Posting Komentar